Pada
awal abad ke-17, Jawa memiliki industri galangan kapal yang luar biasa, bahkan jung
besar pun dibuat di sini. Industri pembuatan kapal tetap penting meski
akhirnya sebagian diatur oleh Belanda. Untuk industri ini, demikian juga
bangunan rumah, diperlukan kayu jati dalam jumlah besar. Demak, Jepara, dan
terutama Rembang menjadi industri penggergajian yang besar, yang melibatkan
orang Kalang sebagai pekerja.
Setelah
ditebang, gelondong ditarik oleh kerbau ke sungai terdekat dan dibiarkan hanyut
ke pantai. VOC langsung mengangkut kayu gelondong ini ke Batavia dengan kapal.
Di Juwana, Jepara, dan Semarang, orang Cina dan Jawa mendirikan pengolahan kayu
dalam sejumlah penggergajian. Dari sini, papan, tong, perabot rumah tangga, dan
dayung dikirim ke Batavia dan tempat lain di Indonesia.
Pembuatan
kain batik terpusat di keraton Jawa dan kota terdekat seperti Banten, Semarang,
dan Kudus. Di keraton, kain dibuat dan dicelup di tempat pembatikan besar milik
beberapa istri pejabat dan perempuan lain. Di dalam dan sekitar kota Pantai
Utara, batik dibuat oleh perempuan petani di rumah mereka, bekerjasama dengan
pedagang Cina. Batik Jawa bermutu tinggi dengan harga yang tidak mahal,
dibutuhkan dalam jumlah besar oleh penduduk pulau lain di Nusantara.
Pada
abad ke-17 dan ke-18 berbagai tanaman baru untuk ekspor diperkenalkan di Jawa
dengan berhasil. Tanaman utama adalah kopi, tembakau, nila, dan tebu. Dengan
pergeseran dari tanaman rempah ke tanaman baru ini, titik perekonomian ekspor
daerah lebih meningkat di pulau Jawa. Sekitar tahun 1650 pusat penghasil gula
tradisional seperti Cina Selatan dan Taiwan dilanda perang sipil. Cina-Jawa
mengisi celah yang timbul sebagai hasil pembangunan pabrik gula di daerah
sekitar Batavia dan Jepara.
Pada
awal abad ke-18 Jawa memiliki lebih kurang 140 pabrik, menjadikannya penghasil
gula tebu terbesar di Asia, yang dijual ke Jepang, Persia, India, dan Belanda.
Ribuan laki-laki Jawa dari Jawa Tengah pindah ke daerah sekitar Batavia untuk
bekerja di kebun tebu dan pabrik gula. Adapun, daerah lain di Jawa
mengkhususkan diri dalam pembiakan kerbau yang diperlukan untuk menggerakkan
pabrik.
Pada
masa modern awal, Jawa dikenal sebagai penghasil padi dalam jumlah besar,
sekitar tahun 1800-an diekspor ke pulau lain di Indonesia dan beberapa negara
Asia Tenggara. Sekitar tahun 1800-an, kedudukan padi sebagai barang ekspor
digantikan kopi yang bernilai, dan secara cepat diganti dengan gabungan tanaman
kopi, nila, dan gula.
Tanaman
perdu yang menghasilkan kopi diperkenalkan Belanda pada akhir abad ke- 17.
Pertengahan tahun 1700-an, tanaman ini disebar ke Jawa, Sumatera, termasuk
pulau lainnya. Sebetulnya tanaman ini pertama kali ditanam oleh VOC dan
perantara mereka, dengan pandangan untuk memperoleh keuntungan bagi perdagangan
ke Eropa.
Pertengahan
abad ke-19 kopi ditanam besar-besaran sebagai tanaman menguntungkan bagi
pemerintah di bawah bantuan “tanam paksa”. Sistem ini yang dibuat tahun
1830-an, memungkinkan pemerintahan jajahan Belanda abad ke-19 mendapat cadangan
hasil ekspor melalui kerja paksa rakyat Jawa. Setelah penghapusan sistem ini
dilakukan secara “bertahap” (tahun 1860-an dan akhirnya dihapus secara
keseluruhan pada permulaan abad ke-20) kopi tetap ditanam oleh sebagian
pemegang saham kecil Indonesia dan para pemilik lahan dikelola oleh penjajah
Eropa, mempertahankan tempat penting di antara barang ekspor hingga berakhirnya
masa penjajahan.
Industri
gula tebu di Indonesia pada awal periode modern sangat terbatas hanya di Pulau
Jawa yang terdapat tanah vulkanik subur dan buruh siap pakai. Paduan ini,
bersama persekutuan simpatik dengan pemerintah jajahan Belanda, membawa
industry gula Indonesia ke baris depan dalam ekonomi gula dunia menjelang abad
ke-19. Hanya Kuba yang memproduksi dan mengekspor gula tebu lebih dari Jawa.
Sejak
tahun 1830-an ke atas, (kemudian di sekitar kota Jakarta, tanaman lain yang
telah digarap sejak abad ke-17 diganti tanaman tebu) seluruh tanah subur dan
daerah padat penduduk di Jawa Tengah atau Jawa Timur diselimuti oleh jaringan
besar dan industri pabrik gula yang meluas. Menjelang tahun 1850-an jumlah
pabrik gula sudah mencapai ratusan, dan pada akhir abad ini jumlahnya hamper
dua kali lipat.
Perkembangan
tersebut, bagaimanapun, mahal harganya. Pabrik dan terutama pemilik Belanda
serta pengelola, menguasai desa di sekitar pabrik dan membentuk sistem
perkebunan menurut kehendak mereka dan bukan menurut alam Indonesia. Mungkin
gula membawa kesempatan kerja bagi bagi masyarakat pedesaan Indonesia, jumlah
pencari kerja bertambah dan lapangan kerja langka di pedesaan. Di pihak lain,
bagi pemilik tanah kecil, gula menjadi kesempatan sekaligus ancaman.
Dengan
dihapusnya Sistem Tanam Paksa, pemilik tanah tidak dipaksa pemerintah menanam
tebu untuk pabrik gula. Sebaliknya, pengelola pabrik bergerak dalam perniagaan
dengan menyewa tanah petani miskin untuk menanam tebu (di samping mereka juga
mengambil alih pengerahan tenaga kerja untuk menanam, memanen, dan mengangkut
tebu).
Gagasan
“kemerdekaan” bagi keberadaan petani pemilik tanah masuk ke dalam susunan
pabrik gula, segera terkikis karena memuncaknya hutang di pedesaan Jawa abad
ke- 19 dan apapun kewenangan “tradisional” tetap dijalankan oleh kepala desa
(dan orang lain, seperti pemilik tanah luas di pedesaan) yang sering
bekerjasama dengan industri gula.
Di bawah keadaan seperti ini, terjadi penyimpangan dalam prioritas
perkembangan, karena pemusatan yang ditujukan pada jatah ekspor yang mudah,
seperti yang terjadi tahun 1880-an dan terulang tahun 1930-an, menurun dalam
pasar dunia. Keadaan “boom dan krisis” (bersekutu dengan kepemilikan
internasional Belanda sebelumnya) pertanda buruk bagi dunia modal pertanian
Indonesia jangka panjang seperti yang terjadi di Asia, terutama Jepang.
Masa Industrialisasi
di Indonesia
1. Industrialisasi
Era 1990 an
Akar intelektual kebijakan industrialisasi yang dikendalikan
negara dimulai pada abad ke-19. Antusiasme terhadap usulan–usulan untuk
industrialisasi selanjutnya melanda Jepang dan dunia Barat, yang mendorong
seorang ahli ekonomi mengatakan bahwa apa yang semula tidak lebih dari tujuan
kebijakan telah berubah menjadi “ideologi independensi ekonomi”, yang
menghendaki “peningkatan posisi negara serta titik berat pada industrialisasi
sebagai wahana bagi integrasi nasional”. Indonesia, sebagai mata rantai negara
berkembang, juga tidak luput terkena demam industrialisasi tersebut. Semenjak
pembangunan ekonomi dimulai secara terencana sejak tahun 1969, sesungguhnya
pendekatan yang digunakan Indonesia adalah strategi industrialisasi.
Ujung tombak industrialisasi adalah sektor “formal” atau
“modern”. Perusahaan manufaktur “modern” pertama yang dibuka, setidaknya dalam
pengertian dikelola dalam skala besar, adalah industri pertahanan dan galangan
kapal yang dikelola oleh Dutch India Company, VOC, dan pemerintah kolonial.
Namun, teknologi yang digunakan masih berada pada tahap praindustri dan
tergantung hamper seluruhnya pada pengerjaan kayu dengan alat-alat tangan.
Pekerjaan yang menyangkut logam, dipusatkan pada Gudang Senjata dan percetakan
uang pada 1808 di Surabaya.
Mesin uap pertama kali diperkenalkan untuk menjalankan
kapal-kapal laut, baik milik swasta maupun milik angkatan laut. Kapal pertama
bertenaga uap, Van der Capellen berlabuh di Surabaya 1825 untuk melayani
perjalanan pantai utara Jawa. Kapal-kapal angkatan laut pertama yang bertenaga
uap tiba di Hindia Belanda pada 1838 untuk dipakai patroli anti bajak laut.
Pada 1849, pemerintah mengambil alih ketel uap yang digadaikan dan took mesin
Heer Baijer di Surabaya. Pada 1851, took konstruksi tersebut diubah fungsinya
menjadi gudang senjata militer khusus dan ketel uap dan toko mesin menjadi
bagian inti dari pabrik angkatan laut khusus. Pada 1859, Cores de Vries
mendirikan galangan kapal di Surabaya tempat peleburan dan ketel uap pada 1863.
perusahaan Pelayaran Uap Hindia Belanda pada 1872 membuka sebuah pabrik
perbaikan kapal di Surabaya yang kemudian diambil alih oleh perusahaan
perwakila Inggris Fraser, Eaton & Co.
Namun, sektor yang menonjol awal itu adalah industri gula
untuk pasar internasional. Meskipun hingga 1830-an, pabrik-pabriknya masih
tergolong kecil dan bertenaga hewan ternak yang menggunakan batu gerinda dan
bangunannya terutama terbuat dari kayu. Pembukaan lahan berdasarkan UU
Pertanahan tahun 1870 mengakibatkan modernisasi yang pesat pada pabrik-pabrik
gula, segera membuat pabrik-pabrik pengguna tenaga hewan dan tenaga air yang
lam terpinggirkan. Jumlah ketel uap yang digunakan industri gula meningkay dari
342 unit pada 1871 menjadi sekita 1.000 unit pada 1881, dan mencapai puncaknya
dengan jumlah sekitar 1.350 unit menjelang Perang Dunia I hinnga depresi
1930-an. Dari awal 1880-an hingga 1930, jumlah pabrik gula tetap tidak berubah,
yakni sekitar 200 unit.
Dari seluruh jumlah ketel uap yang digunakan
perusahaan-perusahaan manufaktur swasta pada 1900, pabrik gula menyumbangkan
90%. Semua bentuk manufaktur lain (pengambilan minyak, nila, dan perkebunan
kopi) hanya menyumbang tidak lebih dari 6% dari kapasitas ketel uap. Ini
menunjukkan betapa terbatasnya pembangunan industri Indonesia zaman kolonial
pada saat itu. Situasi tersebut diperkuat dengan distribusi kapasitas mesin
oleh tenaga kuda, di mana banyak pabrik menggunakan tenaga uap dalam jumlah
minim, masing-masing hanya menggunakan satu tenaga kuda.
Indusri minyak memulai produksinya di Jawa pada 1887. tenaga
uap digunakan baik untuk pengambila maupun pemrosesan minyak mentah menjadi
minyak tanah. Lahan-lahan pertama berada di sebelah selatan Surabaya, di mana
dibuka penyulingan pada 1889 ditambah dengan sebuah pabrik untuk memproses
residu menjadi lilin paraffin, dan di daerah pedesaan Blora pada 1894.
Merupakan bagian kompleksitas ini adalah sebuah pabrik untuk memproduksi
kaleng-kaleng timah tempat minyak tanah sebelum didistribusikan.
Meskipun ketel uap, vacuum pans, centrifuge,dan mesin-mesin
uap diimpor, terutam dari Inggris, pemeliharaan dan perbaikannya terpaksa
dilakukan secara lokal. Sebuah pabrik terpaksa menghentikan kegiatannya selama
satu musim, sementara sebuah perlengkapan atau suku cadang baru dipesan atau dikapalkan
ke koloni, memaksa parik tersebut menyediakan ahli teknik secara mendadak.
Sementara industri gula menimbulkan permintaan langsung
produk industri kerja logam, juga ada permintaan penting secara tidak langsung.
Pertama, ada permintaan pembuatan pintu air dan pintu gerbang yang terbuat dari
logam dan gambar teknik mesin untuk pekerjaan-pekerjaan irigasi. Pekerjaan
pembuatan rel kereta pertama pada zaman kolonial di Indonesia diberikan pada
1863 dan 1864. Industrialisasi Indonesia di zaman kolonial pada awalnya didorong oleh
kebutuhan untuk memproses produk-produk primer untuk pasar dunia dan pasar
domestik di negara ini. Permintaan terutama dari penduduk Eropa yang
mengharapkan suatu kehidupan perkotaan yang nyaman. Sehingga melahirkan
tuntutan terhadap bahan bangunan, terutama batu bata, genting, dan kapur yang
diproduksi di luar kota dan jumlahnya meningkat bersamaan dengan penerapan
tenaga uap.
Permintaan selanjutnya adalah akan es dan air mineral.
Pabrik es dibuka di Batavia pada 1863 dan di Surabaya pada 1866. Toko-toko roti
umumnya dibuka oleh industri rumah tangga yang membutuhkan tungku kayu,
sedangkan tenaga uap digunakan untuk pembuatan tepung. Laundry dengan tenaga
uap didirikan di kota-kota pelabuhan, tetapi pembuatan sabun tetap merupakan
kegiatan yang menggunakan keterampilan tangan. Di kota-kota utama, meningkatnya
jumlah penduduk Eropa mengakibatkan meningkatnya permintaan akan koran, majalah
lokal dan buku yang didukung oleh industri percetakan dan penerbitan yang juga
meningkat.
Sebaliknya, di berbagai pulau luar Jawa pabrik-pabrik
manufaktur modern tetap sedikit hingga akhir 1900. Ini disebabkan oleh
penggabungan dari sebagian besar daerah ini ke dalam orbit kolonial. Meskipun
beberapa pabrik didirikan Belanda di kota-kota pantai.
2. Industrialisasi
Masa Orde Lama
Pada awal kemerdekaan, pembangunan ekonomi Indonesia
mengarah perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, yang
bertujuan untuk memajukan industri kecil untuk memproduksi barang pengganti
impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat ketergantungan luar
negri.
Sistem moneter tentang perbankan khususnya bank sentral
masih berjalan seperti wajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya hak ekslusif
untuk mencetak uang dan memegang tanggung jawab perbankan untuk memelihara
stabilitas nasional. Bank Indonesia mampu menjaga tingkat kebebasan dari
pengambilan keputusan politik.
Masa orde lama dimulai dari tanggal 17 Agustus 1945 saat
Indonesia merdeka. Pada saat itu,keadaan ekonomi Indonesia mengalami stagflasi
(artinya stagnasi produksi atau kegiatan produksi terhenti pada tingkat
inflasi yang tinggi). Indonesia pernah mengalami sistem politik yang
demokratis yakni pada periode 1949 sampai 1956. Pada tahun tersebut, terjadi
konflik politik yang berkepanjangan dimana rata-rata umur kabinet
hanya dua tahun sehingga pemerintah yang berkuasa tidak fokus memikirkan
masalah-masalah sosial dan ekonomi yangterjadi pada saat itu. Selama periode
1950an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial,
struktur ini disebut dual society dimana struktur dualisme
menerapkandiskriminasi dalam setiap kebijakannya baik yang langsung maupun
tidak langsung.Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah buruk dibandingkan
pada masa penjajahanBelanda.
Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai meramba ke
proyek-proyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan Rencana
Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Kebijakan ini berisi rencana
pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk mendukung proyek
besar tersebut. Rencana ini mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan
perhitungan modern. Namun sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun
ini tidak berjalan atau dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti
adanya kekurangan devisa untuk menyuplai modal serta kurangnya tenaga ahli.
Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk.
Terjadinya pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan
pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer untuk biaya
konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana
revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa.
Perekonomian juga diperparah dengan terjadinya hiperinflasi yang mencapai 650%.
Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai
dekat dengan negara-negara komunis.
3. Industrialisasi
Masa Orde Baru
Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih
besar daripada seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar
negeri mengalami defisit yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso,
1986:221) merupakan gambaran singkat betapa hancurnya perekonomian kala itu
yang harus dibangun lagi oleh masa orde baru atau juga bisa dikatakan sebagi
titik balik.
Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya
perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi
ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan
menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai
ayng berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya
IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan
pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA
a.
REPELITA I (1967-1974)
mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969. Tujuan yang ingin
dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan
adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk
menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b.
REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun.
Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi
kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c.
REPALITA III (1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan ekonomi yang
dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta
peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
d.
REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan
usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian
pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja.
Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri
sendiri. Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut
REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang
diikuti pertumbuhan industri bertahap
4. Industrialisasi
Masa Reformasi
Sebagai akibat krisis moneter pertengahan tahun 1997,
pertumbuhan ekonomi Indonesia turun drastis pada tahun 1998 tetapi tumbuh
kembali secara perlahan mulai tahun 1999. Namun sejak saat itu hingga kini
(2006) ekonomi Indonesia bergerak lambat dengan pertumbuhan yang rendah. Timbul
keingintahuan mengapa ekonomi Indonesia bergerak lambat dan apakah ini
tanda-tanda bahwa perekonomian Indonesia telah terperangkap pada pertumbuhan
rendah. Apabila benar perekonomian Indonesia telah terperangkap pada
pertumbuhan rendah, apakah masih ada kemungkinan untuk bisa keluar dari
perangkap tersebut dan apa langkah-langkah yang dapat ditempuh agar secara
bertahap dapat keluar dari perangkap tersebut.
Pembangunan Nasional merupakan rangkaian kegiatan yang
merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat bangsa
dan negara untuk melaksanakan tugas sebagaimana yang diamanatkan dalam undang
undang dasar 1945, yaitu “ melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi,dan keadilan sosial negara”. Berbagai macam prospek pembangunan telah di
lakukan dari orde lama, orde baru hingga ord reformasi untuk terus mendorong
kesejahteraan dan kemajuan bangsa kearah yang lebih baik. Pembangunan nasional juga
harus dimulai dari, oleh, dan untuk rakyat, dilakasanakan di berbagai aspek
kehidupan bangsa yang meliputi politik, ekonomi dan sosial budaya dan aspek
pertahanan.
Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, maka laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi -13,16% pada 1998,
bertumbuh sedikit 0,62% pada tahun 1999 dan setelah itu makin
membaik. Laju pertumbuhan tahunan 1999 – 2005 berturut-turut sebagai
berikut 0,62%, 4,6%, 3,83%, 4,38%, 4,88%, 5,13% dan 5,69%. Ekonomi
Indonesia bertumbuh dari hanya0,62% berangsur membaik pada
kisaran 4% antara tahun 2000 s.d. 2003 dan mulai tahun 2004 sudah
masuk pada kisaran 5%. Pemerintah pada mulanya menargetkan
pertumbuhan ekonomi 2006 adalah 6,2%tetapi kemudian dalam APBN-P 2006 merubah
targetnya menjadi 5,8%; namun BI memperkirakan laju pertumbuhan 2006
adalah 5,5% lebih rendah dari laju pertumbuhan 2005.
Patut diduga bahwa laju pertumbuhan tahun 2007 akan lebih
rendah lagi karena investasi riil tahun 2006 lebih rendah dari tahun 2005. Laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 1999 s.d. 2005 mencapai
ratarata 4,15%. Dari data di atas kelihatannya ekonomi Indonesia
memiliki prospek membaik yaitu terus meningkatnya laju pertumbuhan di masa
depan. Namun apabila diteliti lebih mendalam akan terlihat adanya permasalahan
dalam pertumbuhan ekonomi tersebut. Sektor ekonomi dapat dikelompokkan atas dua
kategori yaitu sektor riil dan sektor non-riil. Sektor riil adalah sektor
penghasil barang seperti: pertanian, pertambangan, dan industri ditambah
kegiatan yang terkait dengan pelayanan wisatawan internasional. Sektor non-riil
adalah sektor lainnya seperti: listrik, bangunan, perdagangan, pengangkutan,
keuangan, dan jasa-jasa (pemerintahan, sosial, perorangan).
Kegiatan yang melayani wisatawan internasional masuk pada beberapa
sektor non-riil sehingga tidak dapat dipisahkan. Antara tahun 1999 s.d. 2005
sektor riil bertumbuh 3,33% sedangkan sektor non-rii
bertumbuh 5,1%.Pertumbuhan ini adalah pincang karena semestinya sektor
non-riil bertumbuh untuk melayani sektor riil yang bertumbuh. Antara tahun 1999
s.d. 2005 sektor pertanian
bertumbuh 3,11%, pertambangan -0,8%, dan sektor industri
bertumbuh 5,12%. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah dari tahun 2002
s.d. 2005 laju pertumbuhan sektor riil cenderung melambat. Hal ini berarti
pertumbuhan ekonomi keseluruhan sejak 2002 adalah karena pertumbuhan sektor
non-riil yang melaju 2 kali lipat dari sektor riil. Pada 2 tahun terakhir.
Sektor yang tinggi pertumbuhannya adalah: pengangkutan,
keuangan, bangunan, dan perdagangan. Pada saat yang sama tingkat pengangguran
terbuka pada mulanya turun tetapi sejak tahun 2002 cenderung naik. Menurut
perhitungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tingkat pengangguran pada
tahun 2004 sebesar 10,3juta meningkat menjadi 11,2 juta pada tahun 2005
dan diperkirakan sebesar 12,2 juta pada tahun 2006 (Harian Kompas, tgl. 7
Agustus 2006, hal. 15). Hal ini sangat ironis karena pertumbuhan ekonomi pada
kurun waktu yang sama berada di atas5%. Persentase orang miskin pada mulanya
juga terus menurun, tetapi sejak tahun 2005 sudah mulai bertambah.
Nama
:
1.
Ayu Ningtiyas
2.
Matthew Agape Sitorus
3.
Nurul Husaidah
Sumber
: