Minggu, 04 Juni 2017

Perkembangan dalam Bidang Industri

            Pada awal abad ke-17, Jawa memiliki industri galangan kapal yang luar biasa, bahkan jung besar pun dibuat di sini. Industri pembuatan kapal tetap penting meski akhirnya sebagian diatur oleh Belanda. Untuk industri ini, demikian juga bangunan rumah, diperlukan kayu jati dalam jumlah besar. Demak, Jepara, dan terutama Rembang menjadi industri penggergajian yang besar, yang melibatkan orang Kalang sebagai pekerja.
                              
Setelah ditebang, gelondong ditarik oleh kerbau ke sungai terdekat dan dibiarkan hanyut ke pantai. VOC langsung mengangkut kayu gelondong ini ke Batavia dengan kapal. Di Juwana, Jepara, dan Semarang, orang Cina dan Jawa mendirikan pengolahan kayu dalam sejumlah penggergajian. Dari sini, papan, tong, perabot rumah tangga, dan dayung dikirim ke Batavia dan tempat lain di Indonesia.

Pembuatan kain batik terpusat di keraton Jawa dan kota terdekat seperti Banten, Semarang, dan Kudus. Di keraton, kain dibuat dan dicelup di tempat pembatikan besar milik beberapa istri pejabat dan perempuan lain. Di dalam dan sekitar kota Pantai Utara, batik dibuat oleh perempuan petani di rumah mereka, bekerjasama dengan pedagang Cina. Batik Jawa bermutu tinggi dengan harga yang tidak mahal, dibutuhkan dalam jumlah besar oleh penduduk pulau lain di Nusantara.

Pada abad ke-17 dan ke-18 berbagai tanaman baru untuk ekspor diperkenalkan di Jawa dengan berhasil. Tanaman utama adalah kopi, tembakau, nila, dan tebu. Dengan pergeseran dari tanaman rempah ke tanaman baru ini, titik perekonomian ekspor daerah lebih meningkat di pulau Jawa. Sekitar tahun 1650 pusat penghasil gula tradisional seperti Cina Selatan dan Taiwan dilanda perang sipil. Cina-Jawa mengisi celah yang timbul sebagai hasil pembangunan pabrik gula di daerah sekitar Batavia dan Jepara.

Pada awal abad ke-18 Jawa memiliki lebih kurang 140 pabrik, menjadikannya penghasil gula tebu terbesar di Asia, yang dijual ke Jepang, Persia, India, dan Belanda. Ribuan laki-laki Jawa dari Jawa Tengah pindah ke daerah sekitar Batavia untuk bekerja di kebun tebu dan pabrik gula. Adapun, daerah lain di Jawa mengkhususkan diri dalam pembiakan kerbau yang diperlukan untuk menggerakkan pabrik.

Pada masa modern awal, Jawa dikenal sebagai penghasil padi dalam jumlah besar, sekitar tahun 1800-an diekspor ke pulau lain di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara. Sekitar tahun 1800-an, kedudukan padi sebagai barang ekspor digantikan kopi yang bernilai, dan secara cepat diganti dengan gabungan tanaman kopi, nila, dan gula.

Tanaman perdu yang menghasilkan kopi diperkenalkan Belanda pada akhir abad ke- 17. Pertengahan tahun 1700-an, tanaman ini disebar ke Jawa, Sumatera, termasuk pulau lainnya. Sebetulnya tanaman ini pertama kali ditanam oleh VOC dan perantara mereka, dengan pandangan untuk memperoleh keuntungan bagi perdagangan ke Eropa.

Pertengahan abad ke-19 kopi ditanam besar-besaran sebagai tanaman menguntungkan bagi pemerintah di bawah bantuan “tanam paksa”. Sistem ini yang dibuat tahun 1830-an, memungkinkan pemerintahan jajahan Belanda abad ke-19 mendapat cadangan hasil ekspor melalui kerja paksa rakyat Jawa. Setelah penghapusan sistem ini dilakukan secara “bertahap” (tahun 1860-an dan akhirnya dihapus secara keseluruhan pada permulaan abad ke-20) kopi tetap ditanam oleh sebagian pemegang saham kecil Indonesia dan para pemilik lahan dikelola oleh penjajah Eropa, mempertahankan tempat penting di antara barang ekspor hingga berakhirnya masa penjajahan.

Industri gula tebu di Indonesia pada awal periode modern sangat terbatas hanya di Pulau Jawa yang terdapat tanah vulkanik subur dan buruh siap pakai. Paduan ini, bersama persekutuan simpatik dengan pemerintah jajahan Belanda, membawa industry gula Indonesia ke baris depan dalam ekonomi gula dunia menjelang abad ke-19. Hanya Kuba yang memproduksi dan mengekspor gula tebu lebih dari Jawa.

Sejak tahun 1830-an ke atas, (kemudian di sekitar kota Jakarta, tanaman lain yang telah digarap sejak abad ke-17 diganti tanaman tebu) seluruh tanah subur dan daerah padat penduduk di Jawa Tengah atau Jawa Timur diselimuti oleh jaringan besar dan industri pabrik gula yang meluas. Menjelang tahun 1850-an jumlah pabrik gula sudah mencapai ratusan, dan pada akhir abad ini jumlahnya hamper dua kali lipat.
Perkembangan tersebut, bagaimanapun, mahal harganya. Pabrik dan terutama pemilik Belanda serta pengelola, menguasai desa di sekitar pabrik dan membentuk sistem perkebunan menurut kehendak mereka dan bukan menurut alam Indonesia. Mungkin gula membawa kesempatan kerja bagi bagi masyarakat pedesaan Indonesia, jumlah pencari kerja bertambah dan lapangan kerja langka di pedesaan. Di pihak lain, bagi pemilik tanah kecil, gula menjadi kesempatan sekaligus ancaman.

Dengan dihapusnya Sistem Tanam Paksa, pemilik tanah tidak dipaksa pemerintah menanam tebu untuk pabrik gula. Sebaliknya, pengelola pabrik bergerak dalam perniagaan dengan menyewa tanah petani miskin untuk menanam tebu (di samping mereka juga mengambil alih pengerahan tenaga kerja untuk menanam, memanen, dan mengangkut tebu).

Gagasan “kemerdekaan” bagi keberadaan petani pemilik tanah masuk ke dalam susunan pabrik gula, segera terkikis karena memuncaknya hutang di pedesaan Jawa abad ke- 19 dan apapun kewenangan “tradisional” tetap dijalankan oleh kepala desa (dan orang lain, seperti pemilik tanah luas di pedesaan) yang sering bekerjasama dengan industri gula.

Di bawah keadaan seperti ini, terjadi penyimpangan dalam prioritas perkembangan, karena pemusatan yang ditujukan pada jatah ekspor yang mudah, seperti yang terjadi tahun 1880-an dan terulang tahun 1930-an, menurun dalam pasar dunia. Keadaan “boom dan krisis” (bersekutu dengan kepemilikan internasional Belanda sebelumnya) pertanda buruk bagi dunia modal pertanian Indonesia jangka panjang seperti yang terjadi di Asia, terutama Jepang.


Masa Industrialisasi di Indonesia

1.     Industrialisasi Era 1990 an

Akar intelektual kebijakan industrialisasi yang dikendalikan negara dimulai pada abad ke-19. Antusiasme terhadap usulan–usulan untuk industrialisasi selanjutnya melanda Jepang dan dunia Barat, yang mendorong seorang ahli ekonomi mengatakan bahwa apa yang semula tidak lebih dari tujuan kebijakan telah berubah menjadi “ideologi independensi ekonomi”, yang menghendaki “peningkatan posisi negara serta titik berat pada industrialisasi sebagai wahana bagi integrasi nasional”. Indonesia, sebagai mata rantai negara berkembang, juga tidak luput terkena demam industrialisasi tersebut. Semenjak pembangunan ekonomi dimulai secara terencana sejak tahun 1969, sesungguhnya pendekatan yang digunakan Indonesia adalah strategi industrialisasi.

Ujung tombak industrialisasi adalah sektor “formal” atau “modern”. Perusahaan manufaktur “modern” pertama yang dibuka, setidaknya dalam pengertian dikelola dalam skala besar, adalah industri pertahanan dan galangan kapal yang dikelola oleh Dutch India Company, VOC, dan pemerintah kolonial. Namun, teknologi yang digunakan masih berada pada tahap praindustri dan tergantung hamper seluruhnya pada pengerjaan kayu dengan alat-alat tangan. Pekerjaan yang menyangkut logam, dipusatkan pada Gudang Senjata dan percetakan uang pada 1808 di Surabaya.

Mesin uap pertama kali diperkenalkan untuk menjalankan kapal-kapal laut, baik milik swasta maupun milik angkatan laut. Kapal pertama bertenaga uap, Van der Capellen berlabuh di Surabaya 1825 untuk melayani perjalanan pantai utara Jawa. Kapal-kapal angkatan laut pertama yang bertenaga uap tiba di Hindia Belanda pada 1838 untuk dipakai patroli anti bajak laut.
Pada 1849, pemerintah mengambil alih ketel uap yang digadaikan dan took mesin Heer Baijer di Surabaya. Pada 1851, took konstruksi tersebut diubah fungsinya menjadi gudang senjata militer khusus dan ketel uap dan toko mesin menjadi bagian inti dari pabrik angkatan laut khusus. Pada 1859, Cores de Vries mendirikan galangan kapal di Surabaya tempat peleburan dan ketel uap pada 1863. perusahaan Pelayaran Uap Hindia Belanda pada 1872 membuka sebuah pabrik perbaikan kapal di Surabaya yang kemudian diambil alih oleh perusahaan perwakila Inggris Fraser, Eaton & Co.

Namun, sektor yang menonjol awal itu adalah industri gula untuk pasar internasional. Meskipun hingga 1830-an, pabrik-pabriknya masih tergolong kecil dan bertenaga hewan ternak yang menggunakan batu gerinda dan bangunannya terutama terbuat dari kayu. Pembukaan lahan berdasarkan UU Pertanahan tahun 1870 mengakibatkan modernisasi yang pesat pada pabrik-pabrik gula, segera membuat pabrik-pabrik pengguna tenaga hewan dan tenaga air yang lam terpinggirkan. Jumlah ketel uap yang digunakan industri gula meningkay dari 342 unit pada 1871 menjadi sekita 1.000 unit pada 1881, dan mencapai puncaknya dengan jumlah sekitar 1.350 unit menjelang Perang Dunia I hinnga depresi 1930-an. Dari awal 1880-an hingga 1930, jumlah pabrik gula tetap tidak berubah, yakni sekitar 200 unit.

Dari seluruh jumlah ketel uap yang digunakan perusahaan-perusahaan manufaktur swasta pada 1900, pabrik gula menyumbangkan 90%. Semua bentuk manufaktur lain (pengambilan minyak, nila, dan perkebunan kopi) hanya menyumbang tidak lebih dari 6% dari kapasitas ketel uap. Ini menunjukkan betapa terbatasnya pembangunan industri Indonesia zaman kolonial pada saat itu. Situasi tersebut diperkuat dengan distribusi kapasitas mesin oleh tenaga kuda, di mana banyak pabrik menggunakan tenaga uap dalam jumlah minim, masing-masing hanya menggunakan satu tenaga kuda.

Indusri minyak memulai produksinya di Jawa pada 1887. tenaga uap digunakan baik untuk pengambila maupun pemrosesan minyak mentah menjadi minyak tanah. Lahan-lahan pertama berada di sebelah selatan Surabaya, di mana dibuka penyulingan pada 1889 ditambah dengan sebuah pabrik untuk memproses residu menjadi lilin paraffin, dan di daerah pedesaan Blora pada 1894. Merupakan bagian kompleksitas ini adalah sebuah pabrik untuk memproduksi kaleng-kaleng timah tempat minyak tanah sebelum didistribusikan.

Meskipun ketel uap, vacuum pans, centrifuge,dan mesin-mesin uap diimpor, terutam dari Inggris, pemeliharaan dan perbaikannya terpaksa dilakukan secara lokal. Sebuah pabrik terpaksa menghentikan kegiatannya selama satu musim, sementara sebuah perlengkapan atau suku cadang baru dipesan atau dikapalkan ke koloni, memaksa parik tersebut menyediakan ahli teknik secara mendadak.

Sementara industri gula menimbulkan permintaan langsung produk industri kerja logam, juga ada permintaan penting secara tidak langsung. Pertama, ada permintaan pembuatan pintu air dan pintu gerbang yang terbuat dari logam dan gambar teknik mesin untuk pekerjaan-pekerjaan irigasi. Pekerjaan pembuatan rel kereta pertama pada zaman kolonial di Indonesia diberikan pada 1863 dan 1864. Industrialisasi Indonesia di zaman kolonial pada awalnya didorong oleh kebutuhan untuk memproses produk-produk primer untuk pasar dunia dan pasar domestik di negara ini. Permintaan terutama dari penduduk Eropa yang mengharapkan suatu kehidupan perkotaan yang nyaman. Sehingga melahirkan tuntutan terhadap bahan bangunan, terutama batu bata, genting, dan kapur yang diproduksi di luar kota dan jumlahnya meningkat bersamaan dengan penerapan tenaga uap.

Permintaan selanjutnya adalah akan es dan air mineral. Pabrik es dibuka di Batavia pada 1863 dan di Surabaya pada 1866. Toko-toko roti umumnya dibuka oleh industri rumah tangga yang membutuhkan tungku kayu, sedangkan tenaga uap digunakan untuk pembuatan tepung. Laundry dengan tenaga uap didirikan di kota-kota pelabuhan, tetapi pembuatan sabun tetap merupakan kegiatan yang menggunakan keterampilan tangan. Di kota-kota utama, meningkatnya jumlah penduduk Eropa mengakibatkan meningkatnya permintaan akan koran, majalah lokal dan buku yang didukung oleh industri percetakan dan penerbitan yang juga meningkat.

Sebaliknya, di berbagai pulau luar Jawa pabrik-pabrik manufaktur modern tetap sedikit hingga akhir 1900. Ini disebabkan oleh penggabungan dari sebagian besar daerah ini ke dalam orbit kolonial. Meskipun beberapa pabrik didirikan Belanda di kota-kota pantai.

2.     Industrialisasi Masa Orde Lama

Pada awal kemerdekaan, pembangunan ekonomi Indonesia mengarah perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, yang bertujuan untuk memajukan industri kecil untuk memproduksi barang pengganti impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat ketergantungan luar negri.

Sistem moneter tentang perbankan khususnya bank sentral masih berjalan seperti wajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya hak ekslusif untuk mencetak uang dan memegang tanggung jawab perbankan untuk memelihara stabilitas nasional. Bank Indonesia mampu menjaga tingkat kebebasan dari pengambilan keputusan politik.

Masa orde lama dimulai dari tanggal 17 Agustus 1945 saat Indonesia merdeka. Pada saat itu,keadaan ekonomi Indonesia mengalami stagflasi (artinya stagnasi produksi atau kegiatan produksi terhenti pada tingkat inflasi yang tinggi). Indonesia pernah mengalami sistem politik yang demokratis yakni pada periode 1949 sampai 1956. Pada tahun tersebut, terjadi konflik  politik yang berkepanjangan dimana rata-rata umur kabinet hanya dua tahun sehingga pemerintah yang berkuasa tidak fokus memikirkan masalah-masalah sosial dan ekonomi yangterjadi pada saat itu. Selama periode 1950an struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonial, struktur ini disebut dual society dimana struktur dualisme menerapkandiskriminasi dalam setiap kebijakannya baik yang langsung maupun tidak langsung.Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah buruk dibandingkan pada masa penjajahanBelanda.

Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai meramba ke proyek-proyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Kebijakan ini berisi rencana pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk mendukung proyek besar tersebut. Rencana ini mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan perhitungan modern. Namun sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun ini tidak berjalan atau dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti adanya kekurangan devisa untuk menyuplai modal serta kurangnya tenaga ahli.

Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk. Terjadinya pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer untuk biaya konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa. Perekonomian juga diperparah dengan terjadinya hiperinflasi yang mencapai 650%. Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai dekat dengan negara-negara komunis.

3.     Industrialisasi Masa Orde Baru

Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih besar daripada seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso, 1986:221) merupakan gambaran singkat betapa hancurnya perekonomian kala itu yang harus dibangun lagi oleh masa orde baru atau juga bisa dikatakan sebagi titik balik.

Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai ayng berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA

a.       REPELITA I (1967-1974)
mulai berlaku sejak tanggal 1april 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b.      REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
c.       REPALITA III (1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
d.      REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja. Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.  Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap

4.     Industrialisasi Masa Reformasi

Sebagai akibat krisis moneter pertengahan tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia turun drastis pada tahun 1998 tetapi tumbuh kembali secara perlahan mulai tahun 1999. Namun sejak saat itu hingga kini (2006) ekonomi Indonesia bergerak lambat dengan pertumbuhan yang rendah. Timbul keingintahuan mengapa ekonomi Indonesia bergerak lambat dan apakah ini tanda-tanda bahwa perekonomian Indonesia telah terperangkap pada pertumbuhan rendah. Apabila benar perekonomian Indonesia telah terperangkap pada pertumbuhan rendah, apakah masih ada kemungkinan untuk bisa keluar dari perangkap tersebut dan apa langkah-langkah yang dapat ditempuh agar secara bertahap dapat keluar dari perangkap tersebut.

Pembangunan Nasional merupakan rangkaian kegiatan yang merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas sebagaimana yang diamanatkan dalam undang undang dasar 1945, yaitu “ melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,dan keadilan sosial negara”. Berbagai macam prospek pembangunan telah di lakukan dari orde lama, orde baru hingga ord reformasi untuk terus mendorong kesejahteraan dan kemajuan bangsa kearah yang lebih baik. Pembangunan nasional juga harus dimulai dari, oleh, dan untuk rakyat, dilakasanakan di berbagai aspek kehidupan bangsa yang meliputi politik, ekonomi dan sosial budaya dan aspek pertahanan.

Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, maka laju pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi -13,16% pada 1998, bertumbuh sedikit 0,62% pada tahun 1999 dan setelah itu makin membaik. Laju pertumbuhan tahunan 1999 – 2005 berturut-turut sebagai berikut 0,62%, 4,6%, 3,83%, 4,38%, 4,88%, 5,13% dan 5,69%. Ekonomi Indonesia bertumbuh dari hanya0,62% berangsur membaik pada kisaran 4% antara tahun 2000 s.d. 2003 dan mulai tahun 2004 sudah masuk pada kisaran 5%. Pemerintah pada mulanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 2006 adalah 6,2%tetapi kemudian dalam APBN-P 2006 merubah targetnya menjadi 5,8%; namun BI memperkirakan laju pertumbuhan 2006 adalah 5,5% lebih rendah dari laju pertumbuhan 2005.

Patut diduga bahwa laju pertumbuhan tahun 2007 akan lebih rendah lagi karena investasi riil tahun 2006 lebih rendah dari tahun 2005. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 1999 s.d. 2005 mencapai ratarata 4,15%. Dari data di atas kelihatannya ekonomi Indonesia memiliki prospek membaik yaitu terus meningkatnya laju pertumbuhan di masa depan. Namun apabila diteliti lebih mendalam akan terlihat adanya permasalahan dalam pertumbuhan ekonomi tersebut. Sektor ekonomi dapat dikelompokkan atas dua kategori yaitu sektor riil dan sektor non-riil. Sektor riil adalah sektor penghasil barang seperti: pertanian, pertambangan, dan industri ditambah kegiatan yang terkait dengan pelayanan wisatawan internasional. Sektor non-riil adalah sektor lainnya seperti: listrik, bangunan, perdagangan, pengangkutan, keuangan, dan jasa-jasa (pemerintahan, sosial, perorangan).

Kegiatan yang melayani wisatawan internasional masuk pada beberapa sektor non-riil sehingga tidak dapat dipisahkan. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor riil bertumbuh 3,33% sedangkan sektor non-rii bertumbuh 5,1%.Pertumbuhan ini adalah pincang karena semestinya sektor non-riil bertumbuh untuk melayani sektor riil yang bertumbuh. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor pertanian bertumbuh 3,11%, pertambangan -0,8%, dan sektor industri bertumbuh 5,12%. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah dari tahun 2002 s.d. 2005 laju pertumbuhan sektor riil cenderung melambat. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi keseluruhan sejak 2002 adalah karena pertumbuhan sektor non-riil yang melaju 2 kali lipat dari sektor riil. Pada 2 tahun terakhir.

Sektor yang tinggi pertumbuhannya adalah: pengangkutan, keuangan, bangunan, dan perdagangan. Pada saat yang sama tingkat pengangguran terbuka pada mulanya turun tetapi sejak tahun 2002 cenderung naik. Menurut perhitungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tingkat pengangguran pada tahun 2004 sebesar 10,3juta meningkat menjadi 11,2 juta pada tahun 2005 dan diperkirakan sebesar 12,2 juta pada tahun 2006 (Harian Kompas, tgl. 7 Agustus 2006, hal. 15). Hal ini sangat ironis karena pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu yang sama berada di atas5%. Persentase orang miskin pada mulanya juga terus menurun, tetapi sejak tahun 2005 sudah mulai bertambah.

Nama :
1. Ayu Ningtiyas
2. Matthew Agape Sitorus
3. Nurul Husaidah

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manajemen Sumber Daya Manusia

Bagaimana Persiapan dalam Menghadapi Wawancara Kerja baik Offline maupun Online ?             Dewasa ini, kita semua pasti sudah seri...